Separuh Jiwaku
By: Fianty, S.Pd
"Aduuuuuuuh....aduuuuh....muleeessss....ampuuunn, mamaaaaa...teriakanku seakan tak berarti lagi. Sakit yang begitu hebat menjalar ke seluruh tubuhku. Kudekap erat tubuh kecil mamaku. Terbayang sakit yang diderita mamaku dulu saat akan melahirkanku. Seharusnya Mas Iwan berada di sampingku. Menemaniku dan menenangkanku serta menguatkanku. Di mana kamu Mas???? Wajah ibu seakan menangkap maksud guratan kepedihan jiwaku. Air mata mamaku tumpah. Aku pun tak tahan melihatnya. Aku mencoba kuat. Aku bisa. Semoga Allah menolongku. Bismillah....allahu akbar....aku mengambil napas dalam dan Subhanallah anakku terlahir dengan tangis yang memecah kesunyian.Laki-laki kecil mungil dan tampan. Mas Iwan...anakmu telah lahir, tapi di manakah kamu? apakah kamu merasakan kehadirannya? Gimana sih si Iwan, istri lagi melahirkan kok bisa bisanya gak nemenin. Lina, apa suamimu tahu kalau kamu mau melahirkan?"tanya mamaku. Dengan suara lemah aku menjawab, dia masih mengurus tokonya ma... gak bisa ditinggal masih banyak pelanggan...nanti sore dia akan datang menjengukku.
Sepertinya ibu kurang puas dengan jawabanku. Ia tetap menggerutu. Memaki dan mencap jelek Mas Iwan. Aku coba menepis semua prasangka itu. Aku hanya berharap Mas Iwan dapat segera datang untuk membayar semua kebutuhanku di rumah sakit.
6 tahun telah berlalu, Azril telah tumbuh besar dan siap untuk ke sekolah. Mas Iwan tetap menjadi ayah bagi Azril walaupu keberadaannya di rumah terbilang jarang, bahkan hampir tidak pernah ada. Kesibukannya mengurus toko keluarga telah membuatnya terpenjara dan tak ingat rumah. Aku hanya merasa sedih karena Azril tidak mengenal dekat tentang ayahnya. Ia butuh kasih sayang dan perhatiannya. Namun, saat ia butuh Mas Iwan selalu tak pernah ada di sampingnya. Figur yang diinginkan Azril dari sosok seorang ayah tidak ia dapatkan dari Mas Iwan. Lagi-lagi mama dan kakak-kakakku menanyakan perihal status Iwan yang seakan lepas dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami sekaligus ayah. Kedekatan keluargaku sedikit mengobati kerinduan Azril pada sosok ayahnya. Ia seakan menghapus jejak sang ayah yang seharusnya ia banggakan.
Aku mulai berpikir apakah ini baik untuk perkembangan jiwanya. Apalagi ia sering melihat dan cemburu akan kehidupan teman-teman di sekitarnya yang memiliki keluarga utuh. Batinku makin terkoyak. Aku merasa cintaku perlahan terkikis. Aku masih mencoba untuk mempertahankan kepercayaanku kepadanya. Iwan, laki-laki yang pernah aku kenal dengan cinta yang terukir dan terucapkan dalam janji suci kami. Buatku itu adalah moment terindah yang pernah ada dalam hidupku. Aku merasa bahwa Mas Iwan adalah lelaki idaman dan impianku. Tapi,......ah, Mas Iwan...apa yang bisa aku utarakan. Hatiku sakit. Sepi. Galau. Campur aduk. Aku harus berjuang dengan kesendirianku. Separuh jiwaku telah hilang tanpa kesan. Ia datang dan pergi sesuka hatinya.
Hari-hariku bersama Azril terasa sepi tanpa Mas Iwan. Untung saja aktivitasku masih dapat mengobati kesepianku. Semua kegalauan dan kegelisahanku dalam keluarga tak sebersitku keluar dari mulutku untuk dapat diketahui oleh orang lain. Bahkan teman akrabku sekalipun. Biarlah masalah ini kutanggung sendiri. Mas Iwan apakah kau masih mencintaiku dan Azril? Pertanyaan besar selalu menghampiriku. Aku membutuhkan kehadirianmu. Wajahku bagaikan tembok berlin yang kuat tuk menahan cibiran orang lain tentang statusku yang kaugantung. Setiap malam aku selalu menangis dan mengadukan masalahku kepada sang khalik. Aku merasa kuat. Aku tak akan mau menukar cintaku pada yang lain. Cintaku hanya untuk Azril. Anak lelakiku dan harapan terakhirku.
Kehidupanku berjalan normal seperti yang lain. Setiap hari aku berangkat untuk bekerja dan Azril melangkahkan kakinya menuju sekolah. Hati tak bisa dibohongi. Perasaan yang dulu mati perlahan hidup kembali. Di tengah kegersangan hatiku. Datang secercah cahaya yang tiba-tiba menembus relung jiwaku yang kesepian. Seorang rekan kerjaku perlahan memasuki kehidupan pribadiku. Dengan pesonanya mampu menggetarkan jiwaku yang tengah terluka. Rizal. Lelaki pintar dan energik. Kehadirannya membuka kesan indah bagi Azril. Ia bagaikan sosok ayah yang dirindukan Azril. Aku mencoba bertahan dan menjaga kehormatanku sebagai wanita yang tengah digantung statusnya. Aku berusaha untuk tidak menanggapi kebaikannya. Perlahan tapi pasti. Mungkin ini yang dikatakan cinta itu buta. Aku tak kuasa menepisnya. Setiap saat ia selalu berusaha menjadi teman curahan hatiku yang tengah galau. Mas Iwan...aku masih menunggu kepastianmu. Datanglah Mas Iwan ... jangan biarkan hatiku tergadaikan dengan yang lain. Aku tak sanggup menanggung ini sendiri. Rizal lelaki baik yang baru kukenal, seakan telah mengerti akan semua jalan hidupku. Mengapa ia baru datang saat ini???Mengapa Rizal tidak bertemu aku sebelum Mas Iwan???Berdosakah aku ya Allah??
Malam ini aku terjaga. Aku bangun dan kulihat disampingku tertidur pulas Azril dengan guling Narutonya.Kuambil segelas air putih tuk melepas dahaga dan menhalau kegelisahanku. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang teramat sakit dibagian dadaku. Kupegang dadaku dan aku tertelungkup menahan sakit. Ya Allah...ada apa ini?? Mama??Mas Iwan...tolong aku?? Dengan perlahan aku menggapai kursi disamping tempat tidur. Kududukkan tubuhku sambil menarik napas dalam-dalam. Memang sudah hampir satu bulan ini kondisiku agak menurun. Seminggu yang lalu aku pergi ke dokter dan dokter memvonisku terkena kanker. Aku terkejut. Aku coba menyembunyikan perihal sakitku kepada siapapun termasuk Azril. Azril tak mungkin aku beritahu. Mas Iwan...buat apa kuberitahu dia, toh ia pun tak akan perduli denganku. Kuambil sebutir obat pereda sakit yang diberikan dokter kepadaku. Alhamdulillah sakitku reda. Aku coba melanjutkan tidurku, namun mataku tak mampu terpejam. Ya Allah jangan ambil nyawaku sebelum aku bisa membahagiakan Azril. Aku ingin melihat Azril bahagia dengan tanganku. Perduli ayahnya. Biarlah Azril yang menolong hidupku.
Kutatap wajah Azril dalam-dalam. Lukisan wajahnya mengingatkanku pada Mas Iwan, laki-laki yang pernah kucintai. Aku tertidur dan pagi pun datang. Pagi ini tubuhku terasa lemas tak berdaya. Suhu tubuhku sedikit panas. Azril membangunkanku. "Mama...mama...kerja ma...mau bareng Azril gak?"Sapa Azril. "Maaf, nak! sepertinya hari ini mama tidak berangkat kerja. Kepala mama masih pusing. Pergilah kamu ke sekolah.Hati-hati ya..! "Baik, Ma...
Azril pun berangkat ke sekolah sendiri. Ia sudah semakin mandiri dan tidak manja. Aku bahagia. Karena Azril aku merasa kuat untuk menghadapi hidup ini sendiri tanpa Mas Iwan. Rupanya sakit yang kualami semakin hari menggerogoti tubuhku. Ketahanan tubuh semakin berkurang. Kembali aku memohon, Ya Allah….berikan aku kekuatan. Sembuhkan aku. Aku terbatuk..dan astagfirullah darah!
Aku buru-buru menghilangkan jejak darah dengan saputanganku. Azril tidak boleh tahu tentang hal ini. Mama akan sembuh. Mama akan menemanimu sampai kapan pun. Lama kelamaan tubuhku semakin lunglai dan tak sadar aku terjelembab di sudut kamar. Sendiri. Sepi. Tak ada satu pun yang tahu akan apa terjadi padaku. Mas Iwan. Di manakah engkau Mas! Aku butuh kamu.
Samar-samar aku mendengar suara yang mendekat ketelingaku. Alunan ayat-ayat suci telah merasuk ke jiwaku. Jiwaku serasa melayang. Dan aku merasakan tubuhku amat ringan. Kulihat kumpulan awan putih yang memayungiku berjalan di tengah kesunyian. Aku terhenyak…tersadar akan anakku, Azril!..Azril…ini mama nak! Di mana kamu, Nak!”Suara alunan ayat-ayat suci itu pun semakin keras dan aku terbangun dari tidur panjangku. Kutatap disekelilingku. Banyak orang yang telah berkumpul di rumahku. Kulihat Azril tengah menangis tersedu-sedu bersimpuh padaku. Ada sosok lelaki yang amat aku kenal dengan wajah penyesalannya. Mas Iwan…kaukah itu??? Aku coba menyebutnya dengan keras dan kuat. Tapi, suaraku seakan tak pernah sampai kepadanya. Azril masih terus menangis, demikian pula dengan yang lain. Mama…Ayah…Kakak. Oh….kenapa aku ini???Mengapa aku tak bisa memeluk anakku. Mengapa ia terus menangis?? Ya Allah…Aku di mana???Hidupkah aku ya Allah??? Azril…mama sayang Azril. Maafkan mama Azril. Ya, Allah jagalah anakku, jangan biarkan dia sendiri.
Depok, 26 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar